Sabtu, 25 Desember 2010

Wajah Hukum Kita

Hukum dalam bahasa Indonesia berasal dari kata yang diserap dari bahasa Arab terambil dari kata hakama, yahkumu, hukman. yang bermakna keadilan hampir sinonim dengan kata al-adl yang bermakna menempatkan sesuatu pada tempatnya yang dalam bahasa lainnya yakni proporsional.
Tujuan hukum atau peraturan dibuat adalah untuk keadilan dan menjunjung tinggi rasa keadilan, jadi jika ada hukum atau sebuah peraturan yang tidak adil tidak dapat disebut hukum, misal; seorang koruptor milyaran rupiah hanya ditahan 3 tahun penjara dan terkena denda dengan proses yang berbelit-belit dan penjara yang mewah dan dapat keluar masuk tahanan. Apakah kenyataan ini adil? Tentu hati nurani kita menangis dan mengatakan tidak, akan tetapi inilah kenyataan yang terjadi di Indonesia, jika melihat pengertian hukum di atas tentunya dapat disimpulkan bahwa di Indoensia tidak ada hukum. Bahwa memang benar terdapat banyak pengadilan di Indonesia, akan tetapi keadilan belum tentu ada, terdapat banyak penjara di Indonesia akan tetapi efek jeranya tidak ada sama sekali.



Hukum di Indonesia merupakan warisan dari hukum Kolonial yang hanya mengalami penyesuaian saja dengan kondisi kekinian. Walaupun konsep Negara kita adalah pancasila akan tetapi warisan tersebut dapat terlihat jelas dalam tataran praktis yang senantiasa diselipi kata junto dan sebagainya, betapa tidak inovatifnya bangsa Indonesia ini sehingga untuk memproduksi acuan hukum yang berlandaskan budaya bangsa sendiri saja susahnya minta ampun, padahal apa yang diwariskan kolonial tersebut belum tentu senafas dan cocok untuk kita bangsa Indonesia yang majemuk dan terdiri dari atas suku bangsa.
Zaman dahulu Indonesia memiliki banyak kerajaan dan tentunya mempunyai aturan hukum dan perundangan. Ambil contoh di Sumatera Selatan, sebelum terhapusnya pemerintahan marga, yang menjadi landasan hukum masyarakat Sumatera Selatan adalah kitab Undang-Undang Simbur Tjahaja yang dinilai oleh sebagian ahli demokrasi sebagai aturan hukum yang berlandaskan demokrasi kontekstual.
Sudah disinggung di atas bahwa hukum adalah sebuah keadilan, it’s talking a justice. Menurut teori Von Savigny hukum dapat berubah manakala masyarakat berubah. Jika menganut prinsip teori Savigny diatas, hukum akan senantiasa mengikuti perubahan masyarakat, ia senantiasa dinamis dan berubah. Tentunya teori ini tak usah dipermasalahkan lagi, perubahan hukum itu jelas, karena hukum yang dibuat oleh manusia jelas akan berubah karena orang-orang pembuat hukum dalam masyarakat juga berubah, apalagi perubahan pola hidup masyarakat dalam teori ibnu Khaldun membutuhkan jangka waktu yang cukup panjang sehingga sangat memungkinkan orang-orang perumus hukum tersebut sudah digantikan karena lanjut usia atau mati. Akan tetapi menurut hemat penulis, teori Savigny di atas dapat berbalik 180 derajat dengan teori bahwa hukum dapat memaksa perubahan masyarakat, hukum yang merubah masyarakat dan memang begitu idealnya.
Indonesia adalah sebuah Negara hukum yang secara teoretis memiliki criminal justice sistem, yang terdiri dari, Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, Kepengacaraan, dan Lembaga Permasyarakatan. Dengan adanya lima sistem tersebut akan dapat melindungi dan memberikan hak-hak keadilan kepada seluruh rakyat sesuai dengan sila ke lima dari Pancasila.
Namun yang terjadi tidaklah demikian, banyak pengadilan akan tetapi keadilan langka ditemui, Lembaga Pemasyarakatan pun bukan lagi suatu hal yang ditakuti, kita bisa melihat Tommy Soeharto yang menjadi raja di LP Nusa Kambangan, Kasus Artalyta Suryani yang menjadikan kamar LP sebagai hotel bintang lima dan akhir-akhir ini Gayus yang dengan santai dapat keluar masuk tahanan. Kepolisian juga mengalami krisis kepercayaan dari masyarakat, apalagi setelah “peluit” ditiup oleh Susno Duaji dan meledaknya kasus gendutnya rekening para jenderal yang memaksa Presiden mengangkat Timur Pradopo sebagai Kapolri. Kejaksaan demikian juga carut marutnya sehingga entah beberapa puluh Jaksa yang terjerat kasus penyuapan dan korupsi. Pengacara juga tak kalah kacaunya, prinsip “maju tak gentar membela yang bayar” masih laku di kalangan dunia advokasi. Bagi kebanyakan masyarakat, apalagi masyarakat miskin marginal, Hukum masih dianggap sebagai mimpi, tajam ke bawah tumpul ke atas.
Akan sangat percuma merubah sistem jika yang bermain adalah orang-orang itu juga, apa gunanya merubah orang-orang kalau yang menekan kebijakan adalah orang-orang yang sama, kadang orang-orang yang duduk di pemerintahan adalah orang kiriman, yang sengaja di posisikan untuk mengamankan kepentingan sekelompok manusia yang tidak beradab demi kekuasaan dan eksistensi mereka.
Demi, melihat kondisi yang sedemikian carut marutnya, coreng morengnya wajah hukum di Indonesia, penulis beranggapan bahwa tidak ada jalan lain lagi bagi penegakkan hukum di Indonesia kecuali dengan diadakannya sebuah gerakan yang revolutif dan mengakar bisa jadi melalui revolusi struktural dan kultural oleh pemerintah dan rakyat.

Muallimin, S.Th.I
(Pengamat Sosial dan Siswa Sekolah Demokrasi Ogan Ilir 2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar