Rabu, 26 Mei 2010

PERBINCANGAN TENTANG TAFSIR MODERN


I. Prolog
Al-Qur’an merupakan wahyu Allah yang mengandung berbagai pelajaran dan aturan-aturan yang meyangkut aqidah, ibadah, mu’amalah, akhlak, dan lain-lain. Sebagai petunjuk bagi orang – orang yang bertaqwa.
Pada zaman Rasulullah, ayat-ayat al-Qur’an diturunkan secara bertahap sesuai dengan kebutuhan dan kondisi pada waktu dan tempatnya. Sehingga kaum muslimin dapat memahami dan mengamalkannya secara langsung. Bila ada perbedaan (khilaf) pada ayat dalam pemahaman, Nabi menjelaskan permasalahan tersebut dengan jelas.
Mulai pada zaman sahabat sampai sekarang a-Qur’an dikaji dan dianalisa untuk menjawab masalah-masalah yang ada.
Banyak ulama yang menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an yang semuanya bertujuan agar aliran mudah dipahami dan diamalkan bagi kaum muslimin.
Berakhirnya khilafah Abbasiyah ditandai dengan jatuhnya kota Baghdad pada tahun 1258 M ke tangan bangsa Mongol, ini merupakan awal dari masa kemunduran Islam. Kota Baghdad merupakan pusat kebudayaan dan peradaban Islam yang sangat kaya akan khazanah-khazanah ilmu pengetahuan, termasuk tafsir ikut pula lenyap dibumi hanguskan oleh pasukan Mongol.[1]
Setelah itu Islam mengalami kemunduran demikian juga perihalnya dengan tafsir al-Qur'an mengalami stagnasi, disinyalir kemunduran ini disebabkan oleh ditutupnya pintu ijtihad. Walhasil, para cendekiawan Islam termasuk para mufassir cenderung berhati-hati dalam menafsirkan al-Qur'an dan mengambil jalan aman dengan menjadi komentator tasir-tasir klasik, mereka tidak berani berijtihad sendiri sehingga ilmu tafsir yang kaya akan pengetahuan menjadi stagnan dan tidak  beranjak dari posisinya.
Selang beberapa abad kemudian, timbullah keberanian dari para sarjana muslim yang ”nekat" karena terbentur situasi umat  yang membutuhkan tafsir segar dalam memandang agamanya, yang seakan jauh dari realitas sosial, sehingga bermunculan tafsir-tasir modern yang utamanya berasal dari negeri Fir'aun, Mesir.
Dalam makalah ini akan diuraikan apa faktor kemnculan tafsir modern itu, dan siapa pelaku awal (pelopor) dalam mengadakan penafsiran kembali terhadap al-Qur'an dan bagaimana keadaan al-Qur'an setelah adanya penyegaran dalam penafsiran tersebut.

II. Modernisasi Tafsir atau Tafsir Modern
Dua kata dari judul di atas layak untuk diperbincangkan, yakni modernisasi tafsir dan tafsit modern. Modernisasi artinya suatu gerakan yang berusaha untuk merombak cara-cara kehidupan lama menuju bentuk / model kehidupan yang baru.[2] Sedangkan makna tafsir setelah diterjemahkan secara bebas artinya suatu kegiatan dari interpretasi terhadap al-Qur'an dengan menggunakan berbagai metode yang relevan. Jadi kedua istilah tersebut jika digabungkan akan membentuk suatu kalimat : Suatu gerakan dalam penafsiran yang baru muncul menggantikan pola penafsiran yang lama.
Adapun tafsir modern adalah bentuk tafsir itu sendiri, suatu karya tafsir yang dihasilkan oleh mufassir, jika ditinjau kata perkata maka tafsir adalah suatu produk dari usaha penasiran al-Qur'an, sedangkan modern adalah kreasi baru. Jadi tafsir modern adalah kreasi baru dalam penafsiran. Dalam Membumikan Al-Qur'an Quraish Shihab menukilkan dua pendapat tentang Modernisasi tafsir :
Pendapat pertama mengatakan : modernisasi tafsir adalah menyebarluaskan dan menghidupkan kembali ajaran agama seperti yang dipahami dan diterapkan pada masa al-salaf al-awwal.
Pendapat kedua mengatakan modernisasi tafsir adalah usaha untuk menyesuaikan ajaran agama dengan kehidupan kontemporer dengan jalan men-ta'wil-kan atau menafsirkannya sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan serta kondisi sosial masyarakat.[3]
Tentunya pendapat di atas perlu ditinjau ulang kembali, karena masing-masing mempunyai interpretasi sendiri terhadap apa itu modernisasi tafsir dan apa itu tafsir modern.
Kehancuran dan kemunduran yang dialami umat Islam, terutama dalam bidang kehidupan intelektual dan material ini dan beralihnya secara drastis pusat-pusat kebudayaan dari dunia Islam ke Eropa menimbulkan rasa lemah dan putus asa di kalangan masyarakat kaum muslimin. Ini menyebabkan mereka lalu mencari pegangan dan sandaran hidup yang bisa mengarahkan kehidupan mereka.[4] Para sarjana muslim, khususnya intelektual Islam karena kemunduran tersebut mulai mencari-cari kiblat tempat menimba ilmu demi mendapatkan pola penafsiran yang berbeda dari sebelumnya.

III. Munculnya Mufassir Modern
Mesir adalah ditakdirkan oleh Allah menjadi kawah candradimuka para intelektual Islam. Di sana pertama kali awal kebangkitan Islam dimulai setelah Bagdad tereliminasi dalam panggung sejarah.[5] Setelah puas bermanja diri dalam kawah yang sangat dalam, Islam kembali tampil kedepan, di sana timbul gerakan Islam yang dikenal dengan Ikhwanul Muslimin oleh Hassan Al-Banna, yang mempengaruhi Sayyid Quthb (1906 - ?) sehingga lahirlah tafsir fi zilali al-Qur'an. Demikian juga dengan pergerakan Jamaluddin Al-Afghani yang mempengaruhi lahirnya mufassir Muhammad Abduh (akhir abad 19 M). Siapa yang tidak kenal mereka ? dunia barat pun dibuat tercengang dengan karya yang dihasilkan oleh mereka. Khususnya Muhammad Abduh (w. 1905) yang awalnya berjuang lewat bulletin dan majalah dan kuliah-kuliahnya di al-Azhar[6] sehingga menghasilkan produk tasfsir yang bernama 'Al-Manar. Setelah beliau meninggal di Iskandariah, jejak perjuangannya diteruskan oleh murid jeniusnya Rasyid Ridha (asli Syiria w. 1935) yang tak kalah mumpuninya dalam bidang tafsir ini.
Pada masa ini muncul juga sebuah karya tafsir besar dalam bidang ilmu pengetahuan, yakni tafsir yang dikarang oleh Tantawi Jauhari (Pengajar di Darul Ulum Mesir). Karena tertarik dengan keajaiban-keajaiban alam, Jauhari membuat karya tafsir yang diberinya nama dengan Al-Jawahir fi tafsiril Qur'an. Dalam tafsirnya ia membahas secara rinci tentang ilmu kealaman (natural science). Akan tetapi menurut Manna' Al-Qaththan tentang Tantawi jauhari bahwa tafsir ini tidak diterima di kalangan cendekiawan karena meniru pola Ar-Razi, makanya tafsir ini dinilai dengan sebutan "di dalamnya terdapat segala sesuatu kecuali tafsir itu sendiri".[7]
Selang beberapa waktu kemudian muncul seorang pria tampan yang ahli dalam tata bahasa atau sastra, terutama bahasa Arab dan sastra Arab, baik dari segi semantik, semiotik, grammar Arab (Qaidat al-lughawiyah) dan yang berkaitan dengan itu. Dialah Amin Al-Khulli (w. 1967 ada yang mengatakan 1966?) yang kelak menjadi guru sekaligus suami dari wanita jenius Islam abad ini, 'Aisyah Abdurrahman bint as-Syathi'. Amin al-Khulli mempunyai kecenderungan dalam penafsiran yang diperkenalkannya dengan sebutan tafsir filologi[8], berlandaskankan diktum yang menyebutkan bahwa al-Qur'an turun dalam bahasa Arab dan menurut retorika mereka[9], maka Amin Al-Khulli berani menerapkan ilmu filologi ini dalam metode penafsirannya.
Akan tetapi dalam perjalanan hidupnya, Amin al-Khulli tidak sempat menyelesaikan metodenya, sehingga tampillah kemuka seorang istrinya yang sangat cerdas, Aisyah Abdurrahman bint As-Syati' (lahir Dumyat 1913) yang merumuskan bahwa tafsir itu harus melalui petunjuk lafat, karena al-Qur`an menggunakan bahasa Arab, maka harus dicari petunjuk dalam bahasa aslinya yang memberikan rasa kebahasaan bagi lafat-lafat yang digunakan secara berbeda, kemudian di simpulkan petunjuknya dengan meneliti segala bentuk lafat yang ada di dalamnya, dan dengan dicarikan konteksnya yang khusus dan umum dalam ayat al-Qur`an secara keseluruhan.
Ada pula Fazurrahman (1919-?)dengan metode gerak gandanya (double cyrcle) Pertama, memahami arti atau makna suatu pernyataan Al-Qur’an, dengan mengkaji situasi atau problem historis dari mana jawaban dan respon Al-Qur’an muncul. Kedua, ditempuh dari prinsip umum ke pandangan spesifik yang harus dirumuskan dan direalisasikan ke dalam kehidupan sekarang. Tapi sayangnya Fazlurrahman tidak menghasilkan produk tafsir seperti Muhammad Abdh dan rasyid Ridha, akan tetapi setidaknya ia telah menyumbang pemikiran dalam dunia tafsir melalui karyanya yang telah diterjemahka ke dalam bahasa Indonsia dengan judul Tema-tema Pokok Al-Qur’an yang diterbitkan oleh Mizan.[10]
Setelah itu banyak bermunculan para mufassir kontemporer dalam dunia dunia tafsir al-Qur'an seperti Muhammad Syahrur (Syiria) dengan karya Nahw Ushul Jadidah lil fiqhi al-mar'ah,[11] Asghar Ali Engineer(India), Amina Wadud Muhsin (?), Muhammad Syaltut, Ali Ash-Shabuni dengan Ayat Ahkam, di Indoenesia ada Quraish Shihab, dan lain-lain yang karya-karya mereka dikenal dengan sebutan tafsir kontemporer.
Sebenarnya masih banyak lagi bagaikan butir pasir di tepi pantai para mufassir modern yang muncul di awal abad ke dua puluh yang menandai kebangkitan kembali Islam,[12] akan tetapi tidak mungkin dapat disebutkan dalam pembahasan yang sangat singkat ini. Untuk itu, akan penulis sampaikan saja kecenderungan metode penafsiran tafsir modern ini.

IV. Kecenderungan-Kecenderungan Metode Tafsir Modern
Terlepas dari bias dan tidaknya suatu tafsir, secara prinsipil ada dua metode tafsir yang berkembang sejalan dengan tumbuhnya pemikiran Islam. Kedua metode tersebut masing-masing dikenal sebagai “pendekatan analisis” (al-’ittijah al-tajzi’i fi al-tafsir) dan pendekatan tematik atau sintetik (al-’ittijah al-tawhidi aw al-mawdu’i fi al-tafsir). Pendekatan tematik umumnya telah membantu dalam pengembangan pemikiran hukum Islam (fiqh) dan memperkaya studi ilmiah dalam bidang ini. Sebaliknya, pendekatan analitik dalam studi Qur’an umumnya melekat pada perkembangan pemikiran Islam – perkembangan pendekatan tafsir dapat dikatakan ‘mandek’ atau tidak menghasilkan karya baru selama beberapa abad setelah terbitnya tafsir karya At-Tabari, Ar-Razi, dan Al-Syaikh At-Tusi.
Dari pemaparan di atas para mufassir modern memiliki kecenderungan :
1.      Menafsirkan al-Qur'an dengan metode tematik
2.      Pendekatan Sains dan Teknologi
3.      Pendekatan Historis (asbabun nuzul) baik makro maupun mikro
4.      Pendekatan sosial budaya (Adabi Ijtima'i)
5.      Heurmenetika al-Qur'an
6.      dan lain-lain

V. Kesimpulan
Akhirnya dari eksplorasi di atas dapatlah diambil kesimpulan, bahwa kegiatan modernisasi tafsir atau tafsir modern adalah suatu kegiatan kebangkitan kembali dari kemandegan penafsiran karena banyak yang menganggap bahwa tafsir atau ijtihad telah tertutup. Dalam kesimpulan ini penulis lebih sepakat dengan pendapatnya Quraish Shihab dalam Membumikan  al-Qur'an-nya, ia mengatakan bahwa :
Hemat kita, memahami ajaran-ajaran agama atau menafsirkan Al-Quran sebagaimana dipahami dan ditafsirkan al-salaf tidak sepenuhnya benar. Ini bukan saja karena Al-Quran harus diyakini berdialog dengan setiap generasi serta memerintahkan mereka untuk mempelajari dan memikirkannya. Sementara itu, hasil pemikiran pasti dipengaruhi oleh sekian faktor, antara lain pengalaman, pengetahuan, kecenderungan, serta latar belakang pendidikan yang berbeda antara generasi dan generasi lainnya, bahkan antara pemikir dan pemikir lainnya pada suatu generasi. Tapi juga karena memaksa satu generasi untuk mengikuti "keseluruhan" hasil pemikiran generasi masa lampau mengakibatkan kesulitan bagi mereka. Ini tidak sejalan dengan ciri agama serta tidak sejalan pula dengan hakikat masyarakat yang senantiasa mengalami perubahan.
Di pihak lain, melakukan tajdid dengan jalan menghapus atau membatalkan ajarannya, pada hakikatnya menghilangkan ciri ajaran Al-Quran yang dinilai "selalu sesuai dengan setiap masa dan tempat." Selain itu, menafsirkan dan men-ta'wil-kannya sejalan dengan perkembangan masyarakat atau penemuan ilmiah tanpa seleksi mengandung bahaya yang tidak kecil. Ini karena perkembangan masyarakat dapat merupakan akibat potensi positif manusia dan dapat juga sebaliknya. Demikian pula dengan penemuan ilmiah: ada yang bersifat objektif dan telah mapan dan ada pula yang sebaliknya.[13]

Demikian sedikit eksplorasi dari kami, semoga bermanfaat. Wallahu A'lam.

VI. Referensi

Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta : Garfindo, 2002
Pius A. Partanto dan M. Dahlan al-Barry, Kamus Ilmiah Populer, Surabaya : Arkola, 2004
Zuhairini, dkk, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta : Bumi Aksara, 2004
J.J.G Jansen, Diskursus Tafsir Modern, Yogyakarta : Tiara Wacana,1997
Manna' Al-Qaththan, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur'an, terj. Mudzakir AS, (Jakarta : Litera Antar Nusa, 1992
Fazlur Rahman, Tema-tema Pokok Al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1996
Muhammad Syahrur, Fiqih Islam Kontemporer, terj. Sahiron Syamsudin, Yogyakarta : eLsaQ Press, 2006
Quraish Shihab, Membumikan  al-Qur'an, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung ; Mizan, 1996


* Mahasiswa Semester X Jurusan Tafsir Hadis NIM : 04.20.16 Makalah diajukan guna dipresentasikan di jurusan Tasir Hadis semester 4 STIQ An-Nur Bantul.
[1] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta : Garfindo, 2002), hlm. 111
[2] Pius A. Partanto dan M. Dahlan al-Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya : Arkola, 2004), hlm. 476
[3] Quraish Shihab, Membumikan  al-Qur'an, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung ; Mizan, 1996), hlm. 64
[4] Zuhairini, dkk, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta : Bumi Aksara, 2004) hlm. 109
[5] Lihat J.J.G Jansen, Diskursus Tafsir Modern, (Yogyakarta : Tiara Wacana,1997), hlm.vii pada kata pengantar dari Redaksi.
[6] Lihat J.J.G Jansen, Diskursus Tafsir Modern, hlm. 36-37
[7] Manna' Al-Qaththan, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur'an, terj. Mudzakir AS, (Jakarta : Litera Antar Nusa, 1992), hlm. 505
[8] Studi tentang budaya dan kerohanian suatu bangsa dengan menelaah karya sastranya (atau sumber-sumber tertulis lainnya), Pius A. Partanto, Kamus …, hlm. 178
[9] J.J.G Jansen, Diskursus…, hlm. 89
[10] Rujuk : Fazlur Rahman, Tema-tema Pokok Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1996)
[11] Lebih jelas tentangnya, rujuk buku Muhammad Syahrur, Fiqih Islam Kontemporer, terj. Sahiron Syamsudin, (Yogyakarta : eLsaQ Press, 2006)
[12] Lebih lengkap silahkan merujuk ke bukunya J.J.G Jansen, Diskursus Tafsir Modern.
            [13] Quraish Shihab, Membumikan  al-Qur'an,..., hlm. 68