Rabu, 24 Maret 2010

Politik Menelan Etika Demokrasi

Politik Menelan Etika Demokrasi

Sistem demokrasi dengan prinsip trias politica dan pers yang bebas dan bertanggungjawab telah melahirkan para aktor demokrasi sebagai praktisi dan pengamat politik. Polemik yang terjadi di dunia politik dewasa ini menciptakan paradigma masyarakat tentang konsep politik yang busuk dan kejam sehingga seakan sulit untuk dapat diubah, tidak bisa dipungkiri lagi bagaimana berbagai fenomena politik dan kasus-kasus para pelaku politik menjadi jawaban konkrit atas paradigma tersebut.

Pesta demokrasi sebagai salah satu wujud dari sistem demokrasi di kabupaten Ogan Ilir telah dimulai, para aktor politik mulai merangkai konsep untuk menjadi pemenang melalui kompetisi yang pelik. Berbagai startegi dilancarkan para kompetitor Pilkada Ogan Ilir yang agendanya akan dilaksanakan Juni mendatang, dengan memancang poster-poster di area yang strategis, berebut koalisi dengan partai, melakukan aneka kegiatan perlombaan, sampai sosialisasi mengumpulkan massa. Semua itu dilakukan demi merebut simpati rakyat yang akhirnya dapat mengantarkan mereka sebagai pemenang dalam pesta demokrasi nanti.
Pola-pola strategi di atas tentunya menurut peraturan KPU masih dalam koridor yang wajar dan tidak melanggar peraturan perundang-undangan, akan tetapi di samping strategi yang wajar tersebut terdapat noda hitam pekat yang nampaknya sudah menjadi trend di kalangan para kontestan baik itu dari pemilihan Presiden, Gubernur, Bupati sampai ke strata pemerintahan yang paling rendah seperti Kepala Desa. Para kontestan tak segan-segan melakukan cara-cara yang licik seperti Politik uang (Money Politic) yang dilakukan dengan dua cara, cara yang pertama yakni cara yang sangat halus seperti bantuan terhadap masjid misalnya sampai ke bantuan ke ormas-ormas, adapun cara yang kedua yakni dengan cara yang sangat kasar, seperti yang kita kenal dengan “serangan fajar” di mana pagi hari sebelum acara pesta demokrasi itu digelar, para Tim Sukses (timses) kompetitor membagi-bagikan uang tunai dan mengintimidasi para pemilih guna di arahkan mencoblos calon yang diusungnya. Politik uang merupakan salah satu politik kotor yang curang dan menginjak-injak nilai demokrasi dimana suara rakyat di beli melalui janji kampanye atas nama rakyat sehingga para pelakunya tidak memiliki hutang jasa karena suara rakyat telah ditukar dengan nominal uang atau barang yang bernilai sehingga akibatnya janji kampanye yang semestinya sebagai kontrak sosial dengan mudah diabaikan yang akhirnya berujung kepada kesengsaraan rakyat.
Hegemoni kapitalis dan modal yang sangat besar dalam dunia politik merupakan syarat wajib bagi para kompetitor pilkada agar memperoleh kedudukan, tentunya modal yang sangat besar tersebut mustahil diperoleh dari aset kompetitor pribadi atau partai yang mencalonkannya, walhasil para donatur besar bermain dan menjadikan pilkada sebagai lahan bisnis dengan menggelontorkan dana bermilyar-milyar guna pemenangan “ayam aduannya”, para pemilik modal mejadikan ajang pesta demokrasi sebagai ladang taruhan, pastinya dalam taruhan itu, ada yang menang dan kalah, yang menang akan menuntut hak kontrak dari dana yang donorkannya sehingga KKN menjadi usaha untuk mengembalikan modal bahkan untuk mendapatkan profit, sudah barang tentu dari beberapa “penanam saham” yang ikut andil besar dalam pemenangan calon yang terpilih akan mendapatkan “lahan basah” dalam pemerintahan, hal ini telah menjadi fenomena yang biasa dalam pemerintahan di negeri kita, berbagi-bagi kedudukan hal yang lumrah sebagai politik balas jasa, akan tetapi parahnya berbagi-bagi kedudukan itu mayoritas mengabaikan profesionalitas dan kompetensi sehingga bisa saja misalnya seorang pejabat yang tidak mempunyai basic ilmu keuangan di jatah untuk menduduki posisi sebagai Kepala Bagian Pajak.
Netralitas KORPRI dalam pemilu hanya slogan, unsur-unsur birokrasi pemerintahan secara vertikal dipaksa terlibat untuk kepentingan tertentu oleh pimpinan yang berkuasa, jika ada yang melawan arus maka ancaman akan diterima bahkan pemutasian sampai pada pembatalan SK bisa saja dilakukan, sehingga yang dahulunya seseorang menjabat sebagai Camat secara drastis bisa menjadi staf kantor pemerintahan yang jauh dipelosok. Pola-pola diktator diterapkan guna kelancaran dan kesuksesan pikada nanti. Jelas ini bukanlah sebuah rekaan atau khayalan belaka akan tetapi ini adalah sebuah realita dan fakta yang terjadi di kalangan birokrasi, tekanan demi tekanan dilakukan oleh penguasa kepada bawahannya, para unsur pemerintah di bawahnya dijadikan seperti salesman yang harus mencapai target penjualan, sungguh ironi seakan tak punya daya untuk menentang kesewenangan.
Tindakan kolusi dan nepotisme dalam perekrutan CPNS akan melahirkan bibit-bibit koruptor dalam sistem pemerintahan, joki-joki CPNS dan sistem lelang dalam perekrutan bukan hal tabu lagi. Membayar uang sekian juta sebagai pelicin demi lolosnya mencapai tujuan duduk di tubuh pemerintahan sudah hal yang biasa. Peristiwa ini lah yang melumpuhkan nilai-nilai keadilan, di mana ribuan masyarakat “dipaksa” mengikuti tes CPNS akan tetapi posisi yang diperebutkan tersebut sudah ada yang menggawanginya sehingga jauh harapan untuk dapat berhasil jika hanya mengandalkan prosedural tes, di sini peran joki CPNS bermain dengan cara melelang posisi tersebut. Kalaupun sudah lolos dalam tes tetap juga uang harus keluar juga jika tidak mau ditempatkan di lokasi yang jauh dari tempat tinggalnya.
Berbicara tentang korupsi tentu semua sepakat bahwa praktik tersebut adalah sebuah penyakit yang sangat sulit untuk diberantas di Indonesia walaupun sudah dibentuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam tubuh pemerintahan yang menjadi malaikat pencatat amal keburukan bagi para birokrat, dan dibentuknya LSM seperti International Corruption Wacth (ICW) tetap saja para koruptor masih bergentayangan di pemerintahan, karena dalam praktiknya berjalan sistematis dan teorganisir sehingga setiap unsur dalam sistem terlibat. Inspektorat di lembaga Eksekutif dan Dewan kehormatan di lembaga Legislatif memejamkan mata dalam melakukan pengawasan.
Sistem lobi yang mutualisme di kalangan birokrasi guna meraih jabatan strategis menjadi usaha efektif dalam mencapai tujuan tertentu yang mengabaikan prosedural dan profesionalitas. Belum lagi jatah koalisi beberapa parpol yang dalam pilkada menjadi basis kekuatan politik tentunya mempunyai hak paksa untuk merelokasikan anggota partainya menduduki jabatan strategis di pemerintahan.
Berbagai macam kecurangan politik terjadi karena konsep politik bebas nilai seolah mengabaikan etika bahkan menelan etika dan dicerna menjadi kotoran, hal ini karena tidak adanya kejelasan batasan hukum berpolitik atau undang-undang tentang etika berpolitik.

(Mifta Hiro ‘Sekolah Demokrasi Ogan Ilir 2010’)

1 komentar: