Rabu, 10 Februari 2010

Demokrasi Kerbau

Demonstrasi Kerbau
Potret Paranoid Seorang Pemimpin Negara
Oleh : Muallimin, S.Th.I

Baru-baru ini di media massa baik cetak maupun elektronik gempar oleh demonstrasi yang tak terbendung di berbagai daerah mendukung gerakan mendobrak kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono alias SBY yang bertepatan pada 100 hari masa pemerintahannya. Ada kejadian unik, para demonstran membawa kerbau ke arena demonstrasi yang pada badan hewan hitam gemuk itu bertuliskan "SiBuYa". Praktis “demonstrasi kerbau” (demonstrasi yang membawa-bawa kerbau) ini menjadi buah pikiran bagi orang nomor satu di Indonesia itu.

Kerbau adalah binatang yang tentunya semua tahu bentuknya. Di Indonesia kerbau dijadikan sebagai teman petani dalam membajak tanah sawahnya, terkadang dipakai juga sebagai sarana transportasi. Kerbau memiliki badan besar dan kuat, akan tetapi lamban dalam bertindak, berbeda dengan banteng yang memiliki kegesitan yang luar biasa.
Sungguh menarik, sentilan dari demonstrasi kerbau yang terjadi belakangan ini menunjukkan sebuah kreativitas rakyat dalam menyampaikan keluhannya atas kinerja pemerintahan selama ini apalagi berkait dengan penanganan kasus aliran dana Bank Century yang kian hari semakin kian tidak jelas dan berlarut-larut sehingga akhirnya akan berujung kepada kebuntuan penyelidikan kemudian kasus ini dapat lepas dari pengamatan media dengan cara mengalihkan isu publik kepada isu-isu lain yang entah apakah sengaja dimunculkan.
Dalam kesempatan jumpa pers di Cipanas, Presiden mengeluhkan demonstrasi kerbau yang tanpa mengindahkan etika dan moral, demonstrasi yang tidak elegan, demonstrasi brutal yang menunjuk-nunjuk hidung para pejabat pemerintahan seperti Wakil Presiden Boediono, Menteri Keuangan Sri Mulyani dan tentunya Beliau sendiri yang merasa diidentikkan dengan kerbau.
Jika melihat beberapa rekaman pidato yang sering disampaikan SBY, ia senantiasa berkeluh kesah atau istilah yang lagi populer sekarang ini adalah “Curhat”. ketika tampil di depan publik baru-baru ini, SBY memperlihatkan guratan muka risaunya, apalagi jika mengadakan pidato kenegaraan, nampak jelas kegelisahan yang semakin mengerut terbias di permukaan kulit mukanya. Beliau curhat kemana-mana dan di mana-mana, apakah itu tentang bom kuningan yang berkait dengan terorisme beberapa waktu silam, apakah itu tentang pendudukan paksa KPU yang di-curhat-kan olehnya jika dia terpilih kelak, dan lagi masalah isu demonstrasi besar-besaran yang dikatakannya akan menggoyang kedaulatan Negara pada hari Anti Korupsi se-dunia, belum lagi wacana impeachment yang mengintai siap menggeser tampuk pemerintahannya. Pikiran-pikiran yang terlalu paranoid seperti itu tak ayal membuatnya kalang kabut sehingga luapan emosi yang tertahan sesak di dadanya kemudian di-curhat-kannya dalam setiap kesempatan berpidato di depan publik.
Tak hanya itu saja, pada tahun 2008 lalu, di istana negara tepatnya tanggal 22 September SBY bercerita di hadapan sekitar 100 peserta kursus Lemhanas ke-41 tentang teror SMS yang menyatakan bahwa Sragen akan keluar dari NKRI. Tentunya pola curhat seperti ini patut dipertanyakan, layak atau tidak seseorang yang notabene nya Pemimpin Negara melontarkan curhat-curhat yang sangat tidak perlu yang masih bersifat dugaan dan rekaan semata.
Banyak kritik yang harus dituai oleh SBY atas sikapnya yang sering curhat itu, Pengamat Politik dari Lembaga Survei Indonesia (LSI) Burhanudin Muhtadi menyatakan bahwa curhat sering dilontarkan SBY tidak substantif dan kontrapoduktif sehingga berlebihan, dalam bahasa gaul anak muda sekarang adalah Lebay. Kemudian Masinton Pasaribu (aktivis petisi 28) mengungkapkan curhat SBY tersebut menandakan bahwa SBY tidak memiliki talenta kepemimpinan yang kuat, hampir senada dengan apa yang dilontarkan olehnya, anggota DPR F-Gerindra Desmon J. Mahesa menandaskan bahwa sikap SBY yang suka mengumbar curhatnya itu menunjukkan dirinya sebagai sosok pemimpin yang lemah.
Menurut para kritikus SBY adalah bahwa tindakan curhat tersebut dimaksudkan untuk menuai simpati dari rakyat, akan tetapi jika dilakukan berulang-ulang tentunya akan menimbulkan rasa antipati atau perasaan muak di telinga rakyat berulang-ulang yang mendengarkannya. Fadjroel Rahman (Koordinator KOMPAK) mengungkapkan bahwa SBY terlalu disibukkan dengan hal-hal yang tidak substansial sehingga melupakan esensi dari kritik tersebut.
Selanjutnya, pandangan penulis bahwa curhat SBY tersebut merupakan sebuah penghinaan bagi negara, karena telah meruntuhkan moral Bangsa. Bagaimana tidak, Presiden merupakan seorang pucuk pimpinan di Negara ini, orang akan menilai suatu Bangsa melihat dari pemimpinnya terlebih dahulu, jika pemimpin Negara itu lemah dan sering berkeluh kesah, maka dapat dipastikan rakyatnya lebih bodoh dari pada pemimpinnya dalam arti lain presiden merupakan cerminan moral Bangsa.
Hakikatnya, manusia adalah makhluk yang sering berkeluh kesah, tentang apa saja. mulai dari masalah yang sepele sampai ke masalah pribadi rumah tangga. Curhat dilakukan adalah untuk mencari pemuasan diri dari beban mental yang dipikul si pencurhat karena dengan membicarakan semua masalah yang ada padanya maka beban yang dipikul terasa ringan karena telah berbagi dengan orang yang diajak curhat walaupun orang yang berada di hadapannya cuma menganggukkan kepala atau diam saja. Dengan curhat memang beban yang ada dapat dirasa ringan. Jika ditarik ke dalam dunia politik apa yang dilakukan SBY adalah pola politik melankolis, yakni dengan cara mengungkapkan kelemahan diri sehingga rakyat berempati kepadanya. Burhanudin menilai pola politik seperti ini tidaklah salah, akan tetapi jika dilakukan secara overdosis, maka yang terjadi adalah timbulnya rasa muak dari masyarakat.
Di samping badai kritik yang dituai SBY, tentunya terdapat pula pihak-pihak yang masih membela dan membenarkan sikap belebihan SBY tersebut, seperti Anas Urbaningrum (Ketua Fraksi Partai Demokrat) yang meminta rakyat agar dapat menggelar demonstrasi secara santun dan berlandaskan etika, dia beralasan bahwa jika demonstrasi menyalurkan aspirasi dilakukan tanpa kontrol etika maka akan terjadi demonstrasi tuna etika yang menuju ke arah kebencian. Wakil Ketua Umum Partai Demokrat Ahmad Mubarok juga tak mau ketinggalan memberikan penilaian terhadap masalah ini, dia menyatakan bahwa demonstrasi yang terjadi dengan membawa-bawa kerbau merupakan sebuah penghinaan terhadap presiden dan pemerintah, dia menegaskan bahwa rakyat sedang sakit terbukti dengan aksi demonstrasi tanpa mengindahkan etika sopan santun yang dijunjung tinggi Bangsa Indonesia.
Menilik dari pernyataan Ahmad Mubarok yang menyatakan bahwa masyarakat telah sakit karena melakukan demonstrasi seperti itu tentu juga dapat dinilai terlalu berlebihan juga (lebay), perlu dipertanyakan kepadanya, sakit yang bagaimanakah yang sedang melanda rakyat Indonesia, apa penyebab penyakitnya, dan bagaimana cara pemerintah dalam menanggulangi penyakit rakyat tersebut, siapa yang menyebabkan rakyat mengidap penyakit tersebut? Tentu banyak pertanyaan yang harus dijawab oleh Ahmad Mubarok atas pernyataannya tersebut, karena tidak mungkin ada asap tanpa ada apinya. Terlepas dari pernyataan yang dapat meyulut emosi rakyat itu, adalah sangat layak pernyataan tersebut hanya pantas ditudingkan kepada pemerintahan yang sekarang, bukan justeru ditimpakan kepada rakyat yang sudah sangat menderita dan senantiasa menjadi kambing hitam atas segala kesalahan birokrasi dalam menjalankan roda dinamisasi pemerintahan, karena tak dapat dipungkiri lagi bahwa rakyat dan pemerintah adalah sebuah satu kesatuan walaupun terpisah oleh sekat-sekat dinding tebal birokrasi yang tidak jelas di Negeri ini.
Melihat begitu tajamnya kritik yang ada dan sikap presiden yang terlalu berlebihan dalam menanggapi hal sepele itu tentunya tidak ada jalan lain bagi SBY dan segenap Kabinet serta jajaran pemerintahannya berkaca diri, tidak menuding menyalahkan sana-sini, menyikut sana-sini akan tetapi dapat menjadikan “demonstrasi kerbau” itu sebagai sarana bercermin, bahwa masih banyak lagi harapan rakyat yang belum terpenuhi olehnya sesuai dengan apa yang digembar-gemborkannya saat kampanye pemilihan presiden beberapa waktu silam, dan juga kebiasaan buruk sikap paranoid yang berlebihan hendaknya dihilangkan dengan jalan menutup telinga dan menyibukkan diri membenahi pola pemerintahannya yang masih sangat amburadul jauh dari harapan rakyat yang masih banyak membutuhkan perhatian dari pemerintah.

1 komentar: